I miss my mom would hug you .....
mother why are you so quick to leave me ....
I can not live without you mom ....
but I promise you mom, I'll be what ever you dreamed of me mother ....
mother until whenever I'll always be a child's pride .....

I'll see you in heaven paradise mother ....


greeting your child

Rabu, 13 Oktober 2010

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Kekerasan Terhadap Perempuan

“Aku tidak mengatakan dan tidak seorang berakal pun akan mengatakan bahwa perempuan lebih tinggi atau lebih rendah satu tingkat dua atau lebih dari laki-laki. Tetapi aku menyaksikan banyak orang merendahkan perempuan sedemikian rendah, mengeksploitasinya sedemikian buruk dan mengurangi sebagian besar hak-haknya. Lebih jauh lagi, laki-laki akan dianggap lemah dan tidak mampu memenuhi hak-hak ayah atau pamannya jika dia tidak merendahkan hak-hak ibu atau bibinya”.(Rasail Jahizh, III/115-116).

Kalimat di atas merupakan pernyataan seorang sastrawan Islam terkemuka abad ke 3 hijriyah ; Abu Amr Ustman al Jahizh (w. 225 H). Tampak dengan jelas betapa kekerasan terhadap perempuan telah menjadi fenomena umum sejak masa klasik Islam.

Hari ini kekerasan terhadap perempuan masih terus berlangsung. Dewasa ini ia semakin menjadi salah satu isu krusial dalam masyarakat bukan hanya pada tingkat nasional, tetapi juga masyarakat global. Pada pertemuan di Beijing, China tahun 1995, perempuan sedunia berhasil mengeluarkan Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan secara lebih progresif. Kekerasan terhadap perempuan oleh masyarakat internasional telah dipandang sebagai bagian dari pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Karena itu harus dilakukan aksi-aksi konkrit untuk penghapusannya.

Pada skala nasional realitas sosial Indonesia hari ini memperlihatkan bahwa kekerasan terhadap perempuan juga masih berlangsung di segala ruang; domestik (rumah tangga) maupun publik, di segala waktu dan dilakukan oleh banyak orang dengan identitas sosio-kultural yang beragam, dari yang dianggap sebagai “orang terhormat”, terpelajar dan dianggap “shaleh” sampai yang dianggap “orang rendahan” dan “manusia pinggiran”. Pada sisi lain kekerasan terhadap perempuan dalam kenyataannya tidak hanya dilakukan secara individual melainkan juga oleh institusi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Kita juga boleh jadi kehilangan akal untuk dapat mengidentifikasi secara pasti identitas orang yang diharapkan dapat menjamin keamanan perempuan dari kemungkinan menjadi korban kekerasan. Orang-orang yang paling dekat dan paling terpercaya dengan perempuan sekalipun seperti ayah, kakak, adik, paman, dalam sejumlah kasus terbukti juga terlibat dalam aksi kekerasan. Fakta-fakta kekerasan dalam rumah tangga (domestik) yang ditemukan oleh berbagai lembaga yang peduli terhadap perempuan menunjukkan jumlah yang jauh lebih besar daripada yang lainnya. Dalam waktu terakhir kekerasan terhadap perempuan muncul dengan modus ‘baru’ yang disebut Trafficking atau perdagangan perempuan.

Kekerasan terhadap perempuan karena itu agaknya sudah tidak lagi memerlukan penelitian dan bukti-bukti akademis, karena secara empirik hampir setiap hari semua orang dapat menyaksikan kasus-kasus ini dalam berbagai bentuknya lewat media massa baik cetak maupun elektronik.

Kekerasan terhadap perempuan karena itu pula mungkin sudah menjadi “banal”, menjadi peristiwa sehari-hari, peristiwa yang sudah lumrah dan umum. Dalam banyak kenyataan orang agaknya sudah tidak lagi menganggapnya sebagai bentuk pelanggaran kemanusiaan dan perbuatan dosa. Dalam kondisi seperti ini peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap perempuan lalu seringkali tidak menjadi kepedulian banyak orang. Dalam pengalaman menangani kasus kekerasan terhadap perempuan di sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang bekerja untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, saya melihat begitu jelas betapa tingkat kepedulian orang terhadap korban begitu rendah. Sebagian orang, laki-laki maupun perempuan bahkan seringkali menimpakan kesalahannya kepada korban dan pada kasus KDRT persoalannya dianggap menjadi urusan rumah tangganya sendiri. Tidak ada urusan orang lain terhadap persoalan ini.
Al-Qur’an menolak Kekerasan Terhadap Perempuan
Islam, demikian juga agama-agama yang lain selalu menjadi sistem keyakinan teologis yang terlalu suci untuk bisa dihubungkan dengan kekerasan terhadap siapapun. Hal ini karena agama datang dari Tuhan Yang Maha Rahman dan Rahim, kasih dan sayang kepada hamba-hamba-Nya. Di dalam Islam sebagaimana diungkapkan oleh kitab suci al-Qur’an sengaja dihadirkan Tuhan melalui utusan-Nya untuk membebaskan manusia dari ketertindasannya menuju kehidupan yang sejahtera ; “yukhrijuhum min al zhulumat ila al nur”, dan menjadi rahmat bagi alam semesta : “Wa maa arsalnaka illa rahmatan li al ‘alamin” (al-Qur’an). Visi keagamaan ini diungkapkan pula dalam sejumlah istilah dan konsep yang berbeda-beda. Beberapa di antaranya adalah keadilan, kejujuran, kebenaran, kebaikan (al Ihsan, al Birr, al Ma’ruf), kemaslahatan umum (kebaikan publik), penghormatan terhadap martabat manusia (karamah al insan) dan sejumlah nilai-nilai moral yang agung dan mulia. Sebagai sasaran misi dan visi Islam, manusia menurut al-Qur’an adalah makhluk Tuhan yang paling terhormat dibanding ciptaan-Nya yang lain ; “wa laqad karramna bani Adam”. (al-Qur’an).

Teks-teks normatif Islam tidak hanya menekankan tindakan-tindakan positif manusia terhadap sesamanya, melainkan juga menekankan penghapusan segala bentuk pelanggaran terhadap kemanusiaan termasuk tindakan-tindakan yang merendahkan, melecehkan martabat manusia dalam bentuknya yang mungkin sederhana seperti menggunjing atau menyebut orang dengan nama panggilan yang buruk. Perbuatan ini dipandang sebagai bentuk kezaliman. Al-Qur’an menegaskan : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan janganlah perempuan-perempuan mengolok-olok perempuan yang lain karena boleh jadi perempuan-perempuan (yang diolok-olok) lebih baik dari perempuan yang mengolok-olok. Janganlah kamu meencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan julukan-julukan yang buruk”. (Q.S. al Hujurat,[49]; 11). Logika analogis dari kasus ini tentu saja mengarah pada pelarangan sekaligus menyatakannya sebagai kezaliman segala bentuk perendahan manusia apalagi kekerasan, pelukaan, penelantaran dan penghilangan nyawa. Dan akhirnya sebuah kesimpulan umum menyatakan : “la dharar wa la dhirar”.(tidak merugikan diri sendiri dan orang lain).

Dari sedikit uraian di atas kita dapat menyimpulkan dengan tegas bahwa Islam adalah agama yang selalu menghendaki tegaknya konstruksi dan sistem kehidupan sosial yang adil, sejahtera, aman dan menghormati martabat manusia di satu sisi dan tidak mentoleransi segala bentuk perendahan martabat manusia apapun alasannya di sisi yang lain. Dengan begitu kita dapat mengatakan pula dengan tegas bahwa keputusan syari’ah (agama) apapun bentuknya yang melahirkan praktik ketidakadilan, diskriminasi dan mereduksi martabat kemanusiaan bukanlah bagian dari keputusan agama dan bukan keputusan atau kehendak Tuhan. Ketentuan normatif ini berlaku bagi siapa saja, tanpa melihat latarbelakang sosio-kultural-politik, ras warna kulit, jenis kelamin maupun agama dan keyakinannya.
Tafsir Teks Kekerasan
Jika demikian keadaannya, maka dari mana sejatinya kekerasan terhadap perempuan muncul dalam realitas sosial yang begitu massif? Adakah teks keagamaan yang mendukungnya? Dan bagaimana kita menafsirkannya?
Satu-satunya ayat al-Qur’an yang seringkali dijadikan dasar legetimasi keabsahan kekerasan terhadap perempuan adalah ayat tentang pemukulan suami terhadap isteri karena nusyuz (membangkang). Ayat tersebut menyatakan :
“perempuan-perempuan yang kamu takutkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. “Sesungguh Allah Maha Tinggi Maha Besar” (Q.S. al Nisa [4]; 34).
Ayat ini berkaitan dengan kasus isteri yang nusyuz. Nusyuz sesungguhnya berlaku bagi isteri dan suami. Pada asalnya nusyuz berarti merasa diri tinggi. Dalam kamus al Mishbah al Munir, nusyuz secara bahasa berarti durhaka kepada suami atau menolak kemauan suami, membangkang. Sementara al Syarbini dalam Mughni al Muhtaj menjelaskan bahwa nusyuz ialah isteri yang keluar rumah tanpa izin suami. Dia melakukan hal itu bukan dalam rangka sesuatu yang penting, misalnya mengadukan hak-haknya kepada pengadilan, tidak untuk mencari nafkah disebabkan kemiskinan suaminya dan tidak untuk belajar hukum-hukum agama yang wajib bagi dirinya disebabkan kebodohan suaminya5 . Jadi jika dia keluar rumah tanpa izin suami dilakukan untuk kepentingan-kepentingan ini, maka tindakan tersebut tidak disebut nusyuz.

Nusyuz seorang perempuan bisa terekspresikan dalam banyak hal. Adakalanya dalam bentuk ucapan. Contohnya; dia tidak mau menjawab pembicaraan suami seperti biasanya, atau dia bicara dengan bahasa yang kasar. Adakalanya dalam bentuk tindakan, misalnya dia menolak ajakan berhubungan intim. Atau dia datang dengan wajah cemberut atau dengan sikap ogah-ogahan.

Isteri yang nusyuz menurut al-Qur’an boleh diberikan sanksi. Sanksi yang dikenakan terhadap isteri yang nusyuz, menurut makna tekstual ayat di atas adalah dinasehati, dibiarkan sendirian di tempat tidumya dan dipukul. Tiga cara ini dilakukan secara bertahap sesuai urutannya.

Berdasarkan ayat al-Qur’an di atas, para ahli tafsir kemudian mengemukakan pandangan yang beragam. Pernyataan paling menggelisahkan perempuan tentang soal ini dikemukakan oleh ahli tafsir terkemuka; Abu Hayyan al Andalusi dalam tafsirnya Al Bahr al Muhith. Ia mengatakan : “(Dalam menghadapi isteri yang nusyuz) suami pertama kali menasehatinya dengan lembut, jika tidak efektif boleh dengan kata-kata yang kasar, dan (jika tidak efektif) membiarkannya sendirian tanpa digauli, kemudian (jika tidak juga efektif) memukulnya dengan ringan atau dengan cara lain yang membuatnya merasa tidak berharga, bisa juga dengan cambuk atau sejenisnya yang membuatnya jera akibat sakit, asal tidak mematahkan tulang dan berdarah. Dan jika cara-cara tersebut masih juga tidak efektif menghentikan ketidaktaatannya, maka suami boleh mengikat tangan isteri dan memaksanya berhubungan seksual, karena itu hak suami. (Abu Hayyan al Andalusi, Tafsir al Bahr al Muhith, Dar al Kutub al Ilmiyyah, Beirut, Juz III, hlm. 252).

Imam Al Syafi’i dan para pengikutnya (Syafi’iyah) mempunyai tafsir yang berbeda. Ia berpendapat bahwa suami boleh memukul isterinya, setelah terbukti dia benar-benar nusyuz. Tetapi segera ditambahkannya, bahwa meskipun boleh tetapi hendaknya anda “tidak memukul dengan pukulan yang melukai atau mengeluarkan darah, jangan berulang-ulang dan hindarkan pemukulan pada wajah”. Pada tempat lain dikatakan : “seyogyanya pemukulan itu dilakukan dengan sapu tangan, dengan tangan dan jangan dengan cambuk atau tongkat”. (Nawawi, Al Majmu’, XV/325). Imam Al Syafi’i juga mengatakan : “Aku lebih suka tidak memukulnya, karena ada hadits Nabi saw : “lan yadhriba khiyarukum (orang yang baik di antara kalian tidak akan memukul isteri. Dalam kesempatan lain sesudah Nabi saw. mendengar ada tujuh puluh orang perempuan yang mengadukan perlakuan kasar suami mereka, beliau mengatakan :”wa ma tajiduna ula-ika bikhiyarikum/kalian perlu ketahui bahwa mereka (para suami yang berlaku kasar terhadap isteri) bukan orang-orang yang baik di antara kalian”.(Nawawi, Ibid).

Ibnu al Arabi dalam tafsirya, Ahkam al-Qur’an, menyampaikan keterangan sebagai berikut : “Atha berpendapat, terhadap isteri yang nusyuz, suami tidak boleh memukulnya. Jika suami menyuruh isterinya untuk mengerjakan sesuatu atau melarang melakukan sesuatu, lalu dia tidak mengindahkannya, maka cukup menegur saja. Mengenai pendapat ini Qadhi Baidhawi memberikan komentarnya : “ltulah pendapat Atha. Dia sangat memahami (maksud) syariah (hukum Islam) dan mengetahui cara-cara ijtihad (cara menyimpulkan hukum), dia pasti tahu bahwa perintah memukul dalam ayat ini menunjukkan arti “ibahah” (pilihan). Bahkan menurut dia tindakan itu adalah makruh (tidak disukai). Dari hadits Abdullah bin Zam’ah diketahui bahwa Nabi saw. pernah bersabda. “Aku membenci (tidak menyukai) laki-laki yang memukul hamba perempuannya ketika marah. Padahal, boleh jadi dia masih ingin menidurinya lagi hari itu”. Nafi’ meriwayatkan hadits dari Imam Malik dari Yahya bin Said bahwa (suatu ketika) Nabi saw. dimintai mengizinkan seorang ssuami memukul perempuan (isterinya). Beliau mengatakan : “silakan kalian memukulnya, tetapi ingatlah bahwa orang yang baik di antara kalian tidak akan memukulnya”. Ini berarti bahwa meskipun Nabi pada mulanya membolehkannya tetapi kemudian menyerukan agar tidak melakukannya. Sebab sanksi mengabaikan isteri di tempat tidur saja sebenarnya sudah merupakan cara memperingatkan atau mendidik paling etis”.(Ibnu al Arabi, Ahkam al-Qur’an, juz I/420).

Pandangan paling menarik dikemukakan ahli tafsir kontemporer; Muhammad Thahir bin Asyur. Dia mengatakan bahwa : “Sebenarnya keabsahan pemukulan terhadap isteri bersumber dari tradisi Arabia pra Islam. Oleh karena itu kita tidak bisa menjadikannya sebagai dasar legitimasi pada konteks yang lain”. (Baca; Maqashid al Syari’ah, hlm. 207). Pada tempat lain dia mendukung adanya intervensi pemerintah untuk menghentikan tindak kekerasan suami terhadap isterinya sekaligus menghukumnya, manakala dia dinyatakan berbuat salah dengan tindakannya itu. (Baca: Ismail Hasani, Nazhariyat al Mashlahah ‘inda Ibnu Asyur, hlm. 210).

Membicarakan isu pemukulan terhadap isteri, khususnya dan kekerasan terhadap perempuan pada umumnya, secara lebih substantif dan kontekstual, pertama-tama kita perlu mengkaji dengan cermat dari aspek sejarah sosialnya. Ketentuan al-Qur’an yang membolehkan pemukulan suami terhadap isteri, pada dasarnya merupakan bentuk toleransi atas konteks tradisi dan budaya Arab waktu itu yang masih mempraktekkan cara-cara tersebut, bahkan dengan kecenderungan berlebihan, kasar atau keras. Sebagaimana sudah dikemukakan Ibnu Asyur. Maka hal ini tentu saja tidak bisa dimapankan. Al-Qur’an sebagaimana biasanya tidak akan melakukan tindakan radikal dengan serta merta persuasif dan gradual. Al-Qur’an berusaha menghapuskannya secara bertahap, dengan menempatkan pemukulan sebagai cara yang terakhir. Pendekatan ini seharusnya dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa sejatinya al-Qur’an hendak menghapuskan cara-cara kekerasan tersebut.

Dewasa ini terdapat kecenderungan baru untuk mencari cara-cara baru yang lebih moralistik dan beradab dalam aspek hubungan-hubungan kemanusiaan. Ini juga menjadi tuntutan mendasar dari Islam. Cara-cara baru yang bermoral dan beradab adalah cara-cara tindakan yang dapat menghindari kekerasan sekecil apapun. Sebab tindakan kekerasan, walaupun kecil (ringan), sesungguhnya tidak dikehendaki oleh prinsip-prinsip kemanusiaan universal dan al akhlaq al karimah. Dalam konteks kehidupan sekarang cara-cara mendidik orang juga sudah berubah sejalan dengan perubahan kebudayaan yang terus berkembang. Apabila pada masa lalu seorang guru dipandang wajar menghukum muridnya yang tidak memperhatikan pelajaran dengan memukul tangannya dengan penggaris misalnya, maka sekarang ini sudah diganti dengan cara lain yang lebih bermanfaat, misalnya menyapu kelas atau meringkas pelajaran. Cara-cara seperti ini juga bisa digunakan untuk mendidik isteri yang nusyuz.

Pendekatan lain yang mungkin bisa dilakukan bagi usaha reinterpretasi adalah tafsir atas bahasa (linguistik). Para ulama tafsir menyatakan bahwa tafsir atas sebuah kata dapat dibenarkan sepanjang tidak menyalahi kaedah-kaedah yang berlaku dalam percakapan dalam masyarakat. Makna teks bahasa di samping memiliki makna ganda (musytarak), juga bisa bermakna majaz (alegoris atau metaforis). Bahasa juga mengalami proses perkembangan makna.

Kalimat “wadhribuhunna” di atas, misalnya, tidak hanya memiliki makna “pukullah mereka dengan tangan”, karena “dharaba” tidak hanya memiliki satu makna. Ar Raghib al Isfihani dalam Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an mengungkapkan sejumlah makna “dharaba” yang terdapat dalam al-Qur’an. Beberapa di antaranya adalah bermakna “menempuh perjalanan” (surah al Nisa,[4]; 101 dan Thaha[20]; 77), “membuat”, seperti membuat contoh/perumpamaan (Q.S. al Tahrim[66]; 10, Yasin[36]; 13, al Baqarah [2]; 26, Ibrahim [14]; 25), atau “menutupi”, seperti “menutupi wajahnya dengan kerudung” (Q.S. al Nur [24]; 31), “ditimpakan/diliputi”, misalnya : “Mereka ditimpakan kehinaan”. (Q.S. al Baqarah,[2]; 61). Al Qur’an juga menggunakan kata “dharaba” untuk makna menutup, misalnya : “Maka, Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu” (Q.S. al Kahfi [18]; 11). Ibnu Qutaibah menerjemahkan (menafsirkan) ayat ini dengan “Kami menidurkan mereka”. Katanya : “Jika anda memaknai (ayat ini) secara harfiyah, anda tidak akan dapat memahaminya”. (Ibnu Qutaibah :Takwil Musykil al-Qur’an, hlm. 21). “Al Mudharabah”, derivasi dari kata “dharaba”, digunakan dalam transaksi ekonomi Islam untuk menunjukkan bentuk kerjasama bagi hasil. Dalam bahasa Arab yang berkembang dewasa ini “dharaba” juga berarti “bertindak tegas”, misalnya dikatakan : “dharabat al daulah ‘ala al mutala’ibin bi al As’ar” (negara menindak tegas pihak-pihak yang mempermainkan harga-harga). Belakangan ini juga populer digunakan kata “al idhrab”, ditujukan untuk makna “pemogokan”.

Ahmad Ali, seorang modernis penerjemah al-Qur-’an, menurut Asghar Ali Engineer, menolak pandangan para penafsir klasik tentang pemukulan terhadap isteri, sambil menegaskan bahwa al-Qur-’an sesungguhnya tidak pernah mengizinkan pemukulan terhadap perempuan. Dengan merujuk pada al Raghib al Isfihani dalam Al Mufradat, ia mengatakan bahwa makna kalimat “wadhribuhunna” adalah “pergilah ke tempat tidur dengan mereka”. (Ali Asghar, Hak-hak Perempuan Dalam Islam, hlm. 75-76). Pandangan ini tentu saja dalam pendapat banyak penafsir mungkin sangat aneh, karena tidak didukung oleh latarbelakang kasus di mana ayat ini diturunkan, sebagaimana sudah dikemukakan. Dengan kata lain pendekatan linguistik ini meskipun sangat menarik, menurut saya ahistoris.

Masih berbeda dengan pandangan para penafsir pada umumnya, tetapi lebih masuk akal, Muhammad Sahrur mengemukakan pandangan baru atas tafsir ayat ini. Ia mengatakan bahwa kalimat “dharaba” dalam ayat ini berarti “bertindak tegas terhadap mereka”.(Sahrur; Al-Qur’an wa al Kitab, Qira’ah Mus’ashirah, hlm. 622). Tindakan tegas, menurut Sahrur dapat diambil melalui mekanisme “arbitrase”. Mekanisme ini sama dengan yang berlaku bagi suami yang nusyuz, sebagaimana dikemukakan dalam ayat 128 surah al Nisa : “Dan jika seorang perempuan khawatir akan nusyuz atau sikap acuh (mengabaikan) dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarnya”. Tetapi sama dengan Ahmad Ali, Sahrur juga mengabaikan sebab nuzul dari ayat tersebut. Kajiannya dilakukan melalui pendekatan linguistik. Pemaknaan “wadhruhunna” dengan “bersikap tegaslah terhadap mereka” oleh Sahrur, tampaknya, dipandang lebih sejalan dengan konteks kontemporer yang lebih menghargai cara-cara tanpa kekerasan, pada satu sisi, dan lebih relevan dengan wacana kesetaraan dan keadilan gender, pada sisi yang lain. Meskipun pendekatan kebahasaan dalam kasus ini tidak menarik perhatian saya, tetapi bagaimanapun itulah upaya-upaya para ahli mencari tafsir baru untuk membebaskan tindakan kekerasan terhadap perempuan. ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar