I miss my mom would hug you .....
mother why are you so quick to leave me ....
I can not live without you mom ....
but I promise you mom, I'll be what ever you dreamed of me mother ....
mother until whenever I'll always be a child's pride .....

I'll see you in heaven paradise mother ....


greeting your child

Rabu, 13 Oktober 2010

ISLAM DAN HAK ASASI PEREMPUAN

Islam dan Hak Asasi Perempuan

Tanggal 15 Mei 1998 adalah sejarah, bukan mitos, nestapa kaum perempuan Indonesia. Ia adalah sejarah tragedi kemanusiaan dalam kerusuhan sosial yang masif. Saya ingin menggambarkan peristiwa tersebut dalam tutur kata ini:
Beribu tubuh polos, luka memar sekujur dan penuh darah
Beribu rahim suci, terkoyak dan tercabik-cabik
Beribu nyawa bersih, terenggut dan meregang
Beribu hati remuk redam dan tanpa harapan
Karena tangan-tangan kotor fulan bin fulan.
Tubuh-tubuh yang nestapa itu berjenis kelamin perempuan dan kebanyakan berwarna kulit kuning langsat, bermata sipit, khas identitas Tionghoa. Maka penindasan manusia dalam tragedi itu merenggut dua katagori identitas sekaligus: jenis kelamin dan etnisitas. Mereka mengalami bukan hanya pelecehan seksual, melainkan juga perkosaan dengan cara-cara kekerasan dan brutal. Kekerasan jenis ini telah mencederai bukan hanya fisik atau seksual, tetapi juga menghancurkan harga diri dan melenyapkan harapan hidup para korban. Ini adalah bentuk perendahan terhadap martabat makhluk Tuhan yang mengerikan.
Peristiwa Mei 1998 di atas adalah pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia yang tidak akan bisa dan tidak boleh dilupakan oleh bangsa Indonesia, khususnya kaum perempuan. Peristiwa tersebut memperlihatkan dengan terang-benderang fenomena kebencian terhadap jenis kelamin perempuan, yang berabad-abad mengendap dalam pikiran dan otak kebudayaan patriarkhis. Ia adalah sebuah budaya yang mengunggulkan karakter laki-laki (maskulinitas) dan yang memberinya hak superioritas untuk mengendalikan dan mendefinisikan. Meski karakter ini bisa ada dalam setiap manusia, berjenis kelamin apa saja, akan tetapi budaya telah mematok karakter tersebut hanya ada pada manusia berjenis kelamin laki-laki. Jika kekerasan terhadap perempuan adalah produk budaya patriarkhi, maka sepanjang budaya ini masih terus tegak dan dipertahankan, kaum perempuan akan terus dan setiap saat dapat diperlakukan sebagai makhluk yang rendah, kelas dua, liyan, obyek, dan inferior. Dalam waktu yang sama, kekerasan demi kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi kapan saja, di ruang mana saja, dan dalam situasi apa saja, ketika kerusuhan maupun ketika damai.

Adalah sebuah ironi, jika fenomena kekerasan tersebut lahir di bumi manusia, konon, dengan tingkat religiusitas yang tinggi, ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, dan bangsa dengan jumlah populasi muslim paling besar di dunia. Padahal agama apapun pasti menentang dan Tuhan tidak "ridha" terhadap segala bentuk penindasan terhadap siapapun.
Islam dan Hak Asasi Perempuan
Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana rumusan yang disepakati bangsa-bangsa di dunia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri setiap orang sejak ia dilahirkan. Hak ini merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Karena sifatnya yang demikian, maka hak tersebut bersifat universal, dimiliki siapa saja, tidak peduli latarbelakang apapun. Hak-hak ini tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh siapapun, kecuali oleh Tuhan. Pada tanggal 10 Desember 1948, Hak Asasi Manusia dideklarasikan PBB dan kemudian disebut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). DUHAM adalah puncak perjuangan manusia sedunia berabad-abad untuk menghentikan perang dan penindasan manusia atas manusia.
Sepanjang yang dapat diketahui, dalam khazanah klasik Islam (al Turats al Islamy), kita tidak menemukan misalnya kalimat: al Huquq al Insaniyyah al Asasiyyah. Hari ini di dunia Arab-Islam ia disebut "al I'lan al 'Alamy li Huquq al Insan". Istilah "al 'alamiyyah" (universal), menurut Abid al Jabiri, mengandung makna bahwa hak-hak tersebut ada dan berlaku bagi semua orang di mana saja, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, berkulit putih atau hitam, kaya atau miskin. Ia tak terpengaruh oleh kebudayaan dan peradaban di mana saja (la yuats-tsir fiha ikhtilaf al tsaqafat wa al hadharat), melintasi batas-batas ruang dan waktu (ta'lu 'ala al zaman wa al tarikh). Ia adalah hak bagi setiap manusia karena dia adalah manusia ('ala al Insan ayyan kana wa anna kana).
Meskipun dalam khazanah Islam klasik tidak ditemukan tema khusus tentang HAM, namun apa yang kita temukan di dalamnya adalah teks-teks suci yang secara substantif dan eksplisit menunjukkan prinsip-prinsip dan norma-norma yang sejalan dengan Hak Asasi Manusia tersebut. Dari sumber Islam paling otoritatif, Alquran, kita menemukan begitu banyak ayat yang menjelaskan tentang eksistensi manusia, tentang kebebasan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap manusia. Hal yang sama juga disebutkan dalam hadis-hadis Nabi Muhammad saw.
Jika kita perhatikan pasal-pasal pada HAM Universal, maka ada dua hal saja yang paling mendasar dan menjadi akar utama dari HAM tersebut, yakni kesetaraan (al musawah) dan kebebasan (al hurriyyah) manusia. Dari dua prinsip dasar ini kemudian dilahirkan sejumlah prinsip yang lain, misalnya prinsip penghormatan dan perlindungan kepada martabat manusia, prinsip partisipasi, dan lain-lain.
Kesetaraan Manusia
Islam menegaskan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan dengan kedudukan yang sama di hadapan-Nya. Alquran menyatakan: "Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri (entitas) yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak". (Q.S. al Nisa', 4: 1) Dan firman-Nya juga: "Wahai sekalian manusia, Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antaramu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa (kepada-Nya)". (QS. al Hujurat, 49: 13)
Pernyatan paling eksplisit lainnya mengenai kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dinyatakan dalam Alquran: "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, laki-laki maupun perempuan, dan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan". (QS. al Nahl, 16: 97) Demikian juga dalam Q.S. al Ahzab, 33: 35, Ali Imran, 3:195, al Mukmin, 40: 40, dan lain-lain.
Doktrin egalitarianisme (al musawah) Islam di atas juga dinyatakan oleh Nabi Muhammad saw. Beliau mengatakan: "Manusia bagaikan gigi-gigi sisir, tidak ada keunggulan orang Arab atas non-Arab, orang kulit putih atas kulit hitam, kecuali atas dasar ketakwaan kepada Tuhan". Sabda Nabi saw. yang lain: "Sungguh, Allah tidak menilai kamu pada tubuh dan wajahmu melainkan pada hati dan tindakanmu". Dan sabda Nabi juga: "Kaum perempuan adalah saudara kandung kaum laki-laki".
Prinsip kesederajatan manusia di hadapan Tuhan ini merupakan konsekuensi paling ekspresif dan logis dari doktrin Kemahaesaan Allah, atau dalam bahasa yang lebih populer: akidah Tauhid. Keunggulan manusia satu atas manusia yang lain dalam sistem Islam hanyalah atas dasar kedekatan dan ketaatannya kepada Tuhan atau yang dalam bahasa Alquran disebut takwa. Takwa yang disebutkan berulang-ulang dalam teks-teks suci Islam tidak dibatasi maknanya hanya pada aspek relasi manusia dengan Tuhan (hablun min Allah), ekspresi-ekspresi spiritual dan praktik-praktik ritual, melainkan juga pada ekspresi-ekspresi hubungan antarmanusia dalam wilayah sosial, kebudayaan, politik dan lain-lain (hablun min al nas).
Konsekuensi lebih lanjut dari prinsip di atas adalah bahwa manusia, siapapun dan di tempat manapun dia berada atau dilahirkan, dituntut untuk saling menghargai eksistensinya masing-masing, dan dituntut pula untuk bekerja dan berjuang bersama-sama bagi upaya-upaya menegakkan kebaikan, kebenaran, dan keadilan di antara manusia. Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk menjalani kehidupan yang diinginkannya tanpa ada gangguan dari siapapun. Dengan kata lain setiap manusia dilarang oleh Tuhan untuk saling merendahkan, menyakiti, mengeksploitasi dan menzalimi. "La tazhlimun wa la tuzhlamun", kata Tuhan, atau "Fa la tazhalamu", kata Nabi.
Sebagai penafsir utama Alquran, Nabi Muhammad menegaskan kembali pernyataan Kitab Suci tersebut menjelang akhir hidupnya. Di hadapan sekitar seratus ribu orang yang berkumpul di Arafah, beliau mendeklarasikan prinsip-prinsip yang selaras dengan istilah Hak Asasi Manusia saat ini. Sabda beliau: "Hai manusia, sesungguhnya darahmu (hidupmu), hartamu, dan kehormatanmu adalah suci, sesuci hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini sampai kamu bertemu dengan Tuhanmu di Hari Kiamat".
Kata-kata dima-akum (darahmu, hak hidup), amwalakum (hartamu, hak atas kekayaan) dan 'irdhukum (kehormatanmu, hak untuk dihargai) diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai life, property, dan dignity. Ketiga kosa-kata ini dalam sejarahnya merupakan prinsip yang mendasari perumusan diktum-diktum HAM Universal di atas.
Kebebasan
Di samping prinsip kesetaraan manusia, Alquran menyebut bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang terhormat, sekaligus ciptaan-Nya yang paling unggul dari semua ciptaan-Nya yang lain. "Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan dan lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik serta Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan ciptaan Kami". (QS. al Isra, 17: 70)
Al Zamakhsyari, Ahli Tafsir klasik, dalam kitab tafsirnya, menjelaskan arti ayat di atas bahwa "Allah memuliakan manusia karena ia berakal, berpikir, bisa membedakan, menulis, (diberi) rupa yang bagus, (memiliki) tubuh yang tegap, dan mampu mengelola urusan-urusan kehidupan hari ini dan nanti. Boleh jadi kemuliaan tersebut karena manusia dapat menguasai potensi Bumi dan menundukkannya (untuk kemaslahatan kehidupan). Pepatah mengatakan: "Kullu syai'in ya'kulu fi famihi illa ibn adam", (Semua binatang makan dengan mulutnya kecuali manusia). Manusia adalah binatang yang bernalar dan kreatif.
Tidak ada ciptaan Tuhan yang memiliki fasilitas paling canggih ini. Dengan potensi akal pikiran inilah, manusia menjadi makhluk yang bebas untuk menentukan sendiri nasibnya di dalam menjalani kehidupannya di dunia ini. Dengan akal-intelektualnya pula, manusia menciptakan peradaban dan kebudayaan. Dalam sebuah Hadis Qudsi, Tuhan menyatakan: "Demi keagungan dan kebesaran-Ku, Aku tidak menciptakan sesuatu yang lebih mulia di hadapan-Ku kecuali kamu (akal). Karenamu, Aku meminta. Karenamu, Aku memberi. Karenamu, Aku minta pertanggungjawabanmu dan karenamu pula, Aku menghukummu".
Perempuan dalam paradigma Hak Asasi Manusia, memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana yang dimiliki laki-laki. Sebagai manusia, perempuan kemarin, hari ini, dan nanti selalu memiliki potensi-potensi yang sama dengan manusia laki-laki. Mereka mempunyai kekuatan fisik, kecerdasan intelektual, kepekaan spiritual, dan hasrat seksual untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan hal-hal lain yang dibutuhkan oleh dan dalam kehidupan manusia. Karena itu, perempuan juga mempunyai hak untuk memilih dan dipilih, berhak untuk memimpin dan memutuskan serta menentukan sejarah kehidupan manusia.
Sepanjang sejarah manusia, selalu terdapat perempuan yang mempunyai kapasitas intelektual yang lebih tinggi daripada laki-laki dan menjadi tokoh utama dalam panggung kehidupan domestik maupun publik. Dalam sejarah Islam, Siti Khadijah ra. adalah perempuan pengusaha sukses sekaligus penasehat Nabi. Siti Aisyah ra. adalah contoh sosok perempuan dengan tingkat intelektual melebihi kebanyakan laki-laki. "Kanat 'aisyah a'lam al nas wa afqah wa ahsan al nas ra'yan fi al 'ammah". (Aisyah adalah orang yang terpandai dan paling cerdas, pandangan-pandangannya paling cemerlang di antara orang kebanyakan). Sejarah dunia yang kita saksikan hari ini semakin mengukuhkan perempuan sebagai identitas yang tengah "bersaing" untuk "merebut" atau mengambil kekuasaan (baca: hak) dalam segala ruang: sosial, budaya, ekonomi, hukum, politik bahkan militer. Bahwa mereka secara kuantitas masih kecil dibanding laki-laki adalah soal lain. Ini soal kehendak sejarah manusia, bukan soal eksistensi.
Dengan penjelasan ini penulis sesungguhnya ingin menegaskan bahwa kita tidak bisa memutlakkan kehebatan satu jenis kelamin atas jenis kelamin yang lain. Tegasnya kita tidak bisa memutlakkan bahwa semua jenis kelamin laki-laki lebih unggul atas semua jenis kelamin perempuan. Karena ibu kita adalah perempuan. Dia telah mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk kehadiran kita dan mengajari kita huruf-huruf. Dia adalah manusia yang kepadanya kita tidak mungkin bisa membalas. Karena Siti Khadijah, Siti Aisyah, dan "Ummahat al Mukminin", adalah perempuan-perempuan yang kepada mereka para sahabat, baik laki-laki dan perempuan banyak belajar. Karena Cut Nyak Dien dan Malahayati (Kemala Hayati) adalah perempuan-perempuan yang memimpin perjuangan melawan penjajah yang kepada mereka Bangsa Indonesia berhutang budi. Mereka adalah para pahlawan, syuhada. Jadi merendahkan semua jenis kelamin perempuan sama artinya dengan merendahkan sekaligus melukai beliau-beliau tersebut. Lagi-lagi kita harus mengatakan bahwa keunggulan, superioritas dan kehebatan seseorang bukan terletak pada jenis kelaminnya, melainkan pada integritas pribadinya masing-masing, laki-laki maupun perempuan.
Hak Asasi Perempuan dalam Deklarasi Kairo
Negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang tergabung dalam Organisasi Islam Internasional dalam konferensi yang diselenggarakan di Kairo tahun 1990, pada akhirnya menyepakati prinsip-prinsip Hak-hak Asasi Manusia. Pasal-pasal yang termuat dalam deklarasi ini sudah barang tentu didasarkan atas sumber-sumber utama dan otentik Islam, baik Alquran maupun hadis Nabi, sebagaimana antara lain sudah dikemukakan.
Deklarasi Kairo ini memuat antara lain:
"Manusia adalah satu keluarga, sebagai hamba Allah dan berasal dari Adam. Semua orang adalah sama dipandang dari martabat dasar manusia dan kewajiban dasar mereka tanpa diskriminasi ras, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, kepercayaan agama, ideologi politik, status sosial atau pertimbangan-pertimbangan lain. Keyakinan yang benar menjamin berkembangnya penghormatan terhadap martabat manusia ini". (Pasal 1, ayat 1)
"Semua makhluk adalah keluarga Allah dan yang sangat dicintai-Nya adalah yang berguna bagi keluarga-Nya. Tidak ada kelebihan seseorang atas yang lainnya kecuali atas dasar takwa dan amal baiknya". (Pasal 1, ayat 2)
"Perempuan dan laki-laki adalah setara dalam martabat sebagai manusia dan mempunyai hak yang dinikmati ataupun kewajiban yang dilaksanakan; ia (perempuan) mempunyai kapasitas sipil dan kemandirian keuangannya sendiri, dan hak untuk mempertahankan nama dan silsilahnya". (Pasal 6)
Meskipun terlambat, lahirnya deklarasi tersebut merupakan langkah progresif dari masyarakat muslim dunia sekaligus memberikan harapan masa depan yang lebih baik, bukan hanya bagi kaum perempuan tetapi juga bagi kesejahteraan bangsa-bangsa muslim secara keseluruhan. Pada hari-hari mendatang, negara-negara OKI (Organisasi Konferensi Islam) seharusnya mulai membaca kembali produk-produk hukum dan perundang-undangannya untuk kemudian dapat disesuaikan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan di atas. Karena Islam memang agama untuk manusia dan demi kemanusiaan. Ini tentu membutuhkan kerja keras, pikiran yang cerdas, jernih dan tanpa kemarahan, dari dan oleh semua orang. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar